Karate
adalah seni bela
diri yang berasal dari Jepang. Seni bela diri karate dibawa masuk ke Jepang lewat Okinawa. Okinawa sendiri merupakan sebuah pulau
yang termasuk dalam rangkaian kepulauan Ryukyu, yang menjadi pelabuhan transit
penghubung Jepang dengan dunia luar pada jaman kuno.Sesuai pemaparan Drs.
N.Daldjoeni (lihat Ras –ras Umat Manusia ,PT Citra Aditya Bakti, 1991)
tentang teori penyebaran manusia di benua Asia maka besar kemungkinan penduduk
asli Okinawa ditilik secara antropofisiologis bukan termasuk subras yang sama dengan
umumnya penduduk Jepang (Ainu-Mongoloid) melainkan lebih dekat dengan subras
yang dominan di Asia Tenggara (Paleo-Mongoloid).Hal ini tidaklah mengherankan
karena secara geografis ia lebih dekat dengan pulau Formosa
(kini Taiwan) daripada dengan empat
pulau utama Jepang lainnya (Shikoku, Kyushu , Honshu & Hokkaido).
Namun akhirnya ditahun 1429 di bawah Kaisar Shōhasi
dari Chuzan , Okinawa dapat disatukan dan dikuasai secara penuh oleh Jepang
hingga saat ini. Rupanya setelah penaklukan itu masih banyak terjadi usaha perlawanan
& pemberontakan dari para penduduk asli yang mendapat bantuan penuh secara
rahasia dari Cina ; sehingga untuk “mengamankannya” secara lebih efektif maka
pada jaman kaisar Shoshin (1477 – 1526) dikeluarkanlah suatu aturan yang sangat
ketat tentang pengaturan kepemilikan senjata pada rakyat Okinawa.Keekstreman
aturan ini mencapai puncaknya pada masa penguasaan Okinawa oleh Shimazu Iehisa
dari klan Satsuma yang mulai berkuasa pada tahun 1609. Disebutkan bahwa hanya boleh ada sebuah
pisau saja untuk sebuah desa dan itupun diikat dengan rantai besi di pos
patroli tentara yang ada.Faktor
inilah akhirnya yang membangkitkan kembali gairah
mereka untuk menggunakan Tōte sebagai “senjata pengganti” yang paling utama dan
siap digunakan kapan saja dalam usaha untuk mempertahankan diri dari penindasan
tentara maupun ancaman para penjahat bersenjata yang banyak berkeliaran. Klan
Satsuma yang berasal dari Kagoshima ini berkuasa hingga tahun 1872, dan selama
sekitar 260 tahun masa kekuasaan mereka (dihitung hanya sampai dengan
dimulainya restorasi Meiji pada tahun 1868) catatan sejarah resmi tentang Tōte
di Okinawa sangat minim yang sempat tercatat hanyalah tentang partisipasinya
sebagai sebuah kemampuan khusus dalam kalangan separatis Okinawa yang terus
menerus melakukan gerakan bawah tanah dalam perjuangannya dan dianggap sangat
berbahaya & mengancam secara tak langsung bagi kalangan militer yang berkuasa. Oleh
karena itulah disebutkan bahwa seni beladiri ini sangat dijaga sekali
kerahasiaannya dan hanya dikembangkan langsung secara turun temurun di kalangan
pria (dari kepala keluarga hanya pada putra tertuanya yang akan menjadi
penggantinya) dalam keluarga bangsawan (shizoku) Okinawa, bahkan dalam banyak
kasus didapati anggota keluarga yang tak diwarisi / tidak mempelajari Tōte
dipastikan tidak akan mengetahui sama sekali bahwa ada diantara anggota keluarga mereka
yang menguasai seni beladiri tersebut. Ada dua ungkapan yang menggambarkan
kondisi diatas pada jaman itu, yaitu : Reimyō Tōte (tangan yang ajaib)
& Shimpi Tōte (tangan yang misterius).
Barulah kemudian mulai akhir abad 17 ada beberapa
nama yang “berani” muncul ke hadapan publik , dikarenakan mereka memiliki
posisi yang cukup kuat dalam lingkup elit politik klan Satsuma yang
memerintah.Mereka dihormati namanya sampai saat ini dalam dunia Karate-dō
dikarenakan mereka juga merupakan pencipta beberapa buah Kata standar yang
paling umum dipakai. Mereka itu berasal dari tiga kelompok yang berbeda, yaitu
:
1. Dari
kalangan perwira intelijen militer kekaisaran Cina yang “difungsikan” sebagai
semacam atase perdagangan di Okinawa, nama – nama yang dikenal adalah Iwah lalu
Wansu/Wanshu ( yang menciptakan Kata jenis Enpi ) dan terakhir Guan Kui atau
dalam bahasa Jepang ia dilafalkan menjadi Kushanku / Koshokun dan merupakan pencipta
Kata jenis Kanku.
2. Dari
kalangan samurai (punggawa militer) yang mengabdi di kastil bangsawan klan
Satsuma yang berkuasa, namun mereka aslinya adalah orang Okinawa yang mungkin
pernah merantau ke Cina untuk mempelajari teknik – teknik ch’uan-fa tingkat
tinggi Tercatat nama – nama berikut : Peichin Takahara , Tode Sakugawa,
Gusukuma dan yang paling terkenal tentu saja Sokon “Bushi” Matsumura yang merupakan
penggubah Kata jenis Bassai
3. Dari kalangan penduduk asli yang sangat militan
dalam melawan kekuasaan kekaisaran Jepang dan pergi ke Cina selama bertahun - tahun
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Tōte dan ch’uan-fa kemudian kembali lagi ke Okinawa untuk mengajarkan kemampuan
mereka itu pada teman – teman seperjuangannya. Yang paling dikenal adalah Yara
yang berasal dari kota Chatan, dimana ia menggubah beberapa buah Kata yang
sudah ada ke dalam versinya sendiri yang didasari pada jenis ch’uan-fa dari
Cina bagian selatan.Saat ini hasil karyanya itu dikenal dalam golongan Kata
jenis Chatanyara / Chatan Yara.
dari guru yang sama yaitu Sokon Matsumura.
Tōte pada abad 17~19 biasanya dibedakan dalam
beberapa gaya sebagai berikut
1. Berdasarkan
aliran ch’uan-fa yang mempengaruhinya secara dominan dalam Kata maka ada dua
jenis aliran besar Tōte, yaitu :
a. Shorin ,
berasal dari ch’uan-fa aliran utara yang memiliki banyak teknik melompat
sehingga mengembangkan kekuatan pinggul dan kaki.Hal ini disebabkan karena
wilayah bagian utara Cina terdiri dari padang rumput dan tanah datar luas yang
gersang sehingga dampak pada gaya sebuah pertarungan adalah jarak yang cukup
jauh, pergerakan yang lebih dominan dalam sebuah garis lurus, kedinamisan kuda
– kuda yang panjang dan tampilan yang kaku dari sebuah teknik namun memiliki
keakuratan yang tinggi pada sasaran.
b. Shorei ,
berasal dari ch’uan-fa aliran selatan yang memiliki keunggulan dalam hal
keseimbangan dan kekuatan tubuh bagian atas.Hal ini disebabkan karena wilayah
bagian selatan Cina terdiri dari areal persawahan dan rawa – rawa yang lunak
dan licin sehingga dampak pada gaya sebuah pertarungan adalah jarak yang dekat,
pergerakan yang didasari pada teori titik tengah sebuah lingkaran, kekokohan kuda kuda yang pendek dan keluwesan tampilan sebuah teknik terutama tangan namun
secara dominan diiringi pengerahan tenaga secara besar.
2. Berdasarkan
tempat perkembangannya selama ratusan tahun di Okinawa maka dikenal ada tiga
jenis Tōte, yaitu :
a. Shuri-Te
, yaitu Tōte yang berkembang di kota Shuri dan pada umumnya teknik pertarungan
& jenis Kata yang dikembangkan di sini termasuk kelompok Shorin.Saat ini di
Okinawa ada tiga perguruan besar yang masih mengajarkan ajaran Shuri-Te secara
aslinya :
- Matsubayashi-ryu, didirikan oleh Shosin Nagamine.
- Kobayashi-ryu, didirikan oleh Chosin Chibana
- Shorin-ryu , perguruan tertua yang didirikan langsung oleh Sokon Matsumura.
b. Naha-Te ,
yaitu Tōte yang berkembang di kota Naha dan pada umumnya teknik pertarungan
& jenis Kata yang dikembangkan di sini termasuk kelompok Shorei.Saat ini di
Okinawa ada dua perguruan besar yang masih mengajarkan ajaran Naha-Te secara
aslinya :
- Uechi-ryu, didirikan oleh Kanbun Uechi.
- Goju-ryu, didirikan oleh Chojun Miyagi dan lalu cukup terkenal di bawah pimpinan Meitoku Yagi.
c. Tomari-Te
, yaitu Tōte yang berkembang di kota Tomari dan pada umumnya teknik pertarungan
& jenis Kata yang dikembangkan di sini adalah kombinasi dari kelompok Shorin
dan Shorei.Nama - nama tokoh yang biasa dimasukkan dalam aliran ini adalah
Gusukuma, Kosaku, Matsumora, Kokan Oyadomari, Sanda Kanagushiku dan Gichin
Funakoshi (meskipun tidak mengadopsi 100% sesuai aslinya namun tetap dihitung sebagai
salah satu penerusnya).
Dewasa ini Tomari-Te dianggap secara lebih umum
sebagai salah satu cabang dari Shuri-Te.
BIOGRAFI GICHIN FUNAKOSHI
Di perempat terakhir abad 19 muncullah nama – nama
yang kelak di kemudian hari dianggap sebagai para perintis yang merenovasi Tōte
untuk dapat menjadi apa yang kita kenal sebagai Karate.Mereka itu diantaranya adalah
Ankichi Arakaki, Chojun Miyagi, Kenwa Mabuni, Kanbun Uechi, Shoshin Nagamine, GICHIN
FUNAKOSHI foto bawah), dll.
Sehubungan dengan fokus buku ini adalah pada aliran
Shotokan , maka untuk kelanjutan perkembangan sejarah Karate dari awal abad 20
akan saya mulai dengan
pemaparan khusus mengenai profil dan sepak terjang
Gichin Funakoshi sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas munculnya aliran
yang dianggap paling banyak memiliki pengikut diseluruh dunia pada saat ini.
Gichin Funakoshi lahir dari kalangan shizoku
(keluarga bangsawan) di kota Shuri, Okinawa pada tahun 1868. Masa pendidikannya
di usia anak – anak hingga remaja adalah bersamaan dengan dimulainya era modern
Jepang, periode Restorasi Meiji.Sehingga hal ini sangat mungkin memberi warna tersendiri
bagi perkembangan wawasan pemikiran & kejiwaannya dalam menyebarluaskan
Karate kelak dikemudian hari.Dimasa pertunbuhannya ia berada dalam sebuah masa
transisi penting , saat dimana nilai – nilai tradisional yang bersifat
konservatif-spritual mulai digeser oleh nilai – nilai modern yang bersifat
dinamis-liberal. Namun hebatnya, ia mampu untuk memadukan keduanya dalam bentuk
sebuah disiplin seni beladiri yang notabene bercitarasa kuno tapi setelah
diolah secara unik dapat disajikannya untuk menjadi sebuah hasil peradaban yang
sesuai selera modernitas manusia.
Sejak kecil badannya tergolong lemah dan sering
sakit – sakitan, hingga oleh ayahnya ia dibawa kepada Tokashiki, seorang tabib
terkenal di Okinawa pada saat itu.Tabib inilah yang kemudian disamping
mengobati penyakitnya secara teratur juga menyarankan pada ayahnya agar Gichin
berlatih Tōte untuk dapat memperkuat & menjaga kondisi fisiknya.Pada usia
11 tahun oleh ayahnya ia diantar pada Yasutsune “Anko” Itosu .Guru pertamanya
ini terkenal sebagai guru besar teknik Tōte dari jenis Shuri-Te (yang beraliran
Shorin) yang juga sebagai maestro terkenal penggubah Kata dari kedua aliran
besar, Shorin & Shorei.Beberapa tahun kemudian Itosu mengantar Gichin pada
Yasutsune Azato, teman seperguruannya yang juga ahli Tōte jenis Shuri-Te, untuk
lebih meningkatkan penguasaannya akan seluruh jenis Tōte yang ada di Okinawa.Diakhir
masa panjang studinya tersebut Gichin juga sempat menimba ilmu secara langsung
pada Sokon “Bushi” Matsumura & Kokan Oyadomari.
Disamping mempelajari seni beladiri , Gichin juga
dikenal gemar mempelajari filsafat dan sastra.Untuk lebih memperdalam pencarian
jiwanya akan sebuah inspirasi yang menuntunnya pada pencapaian puncak akan
kemurnian nilai filosofis dari Budō , ia sering sekali bermeditasi atau
menjelajahi sebuah hutan cemara ( dalam bahasa Jepang disebut TO )
yang cukup sejuk karena selalu dialiri oleh hembusan angin yang sepoi – sepoi (
dalam bahasa Jepang disebut SHO ) dikaki sebuah bukit yang
terkenal dengan sebutan bukit Tora no Maki (harimau yang tak pernah
tidur) di pinggiran kota Shuri, Okinawa.
Dibidang sastra ia diketahui banyak sekali menulis
kaligrafi dan menghasilkan beberapa buah buku penting tentang beladiri
(khususnya Karate-dō), yaitu :
1. Ryukyu Kempo : Tōde (1922)
2. Rentan Goshin Karate Jutsu (1925)
3. Karate-dō Kyohan (1936)
4. Karate-dō Nyūmon (1939)
5. Karate-dō , my way of life (1949)
Semua hasil karyanya dibidang sastra ini selalu
dibubuhinya dengan tandatangan / stempel yang berbunyi SHOTO.
Ditahun 1903 Gichin bersama Itosu untuk pertama
kalinya secara resmi memperkenalkan Tōte pada Shintaro Ogawa, seorang pejabat
pemerintahan Jepang yang menjabat sebagai kepala sekolah kerajaan tingkat
menengah pertama di Naha, Okinawa.Terkesan akan seni beladiri ini maka sang
kepala sekolah meminta agar Tōte dimasukkan dalam kurikulum wajib mata
pelajaran pendidikan jasmani di sekolahnya.Untuk itu Itosu menggubah lima buah
Kata jenis Heian yang diambil dari Kanku-Dai agar dapat dipakai sebagai dasar
awal untuk mempelajari Tōte, dan selanjutnya Gichin yang bertindak sebagai instrukturnya
selama belasan tahun.
Ditahun 1917 atas permintaan Departemen Pendidikan
Jepang maka Direktorat Pendidikan Jasmani pun mempromosikan Gichin untuk
mendemonstrasikan Tōte dalam upacara pembukaan Kejuaraan Atletik Nasional di
Tokyo. Peragaan Tōte yang dilakukannya mengundang aplaus serta minat banyak
pihak dari kalangan akademis yang menyaksikannya saat itu.Ia pun banyak sekali mendapat
tawaran dan undangan untuk memperkenalkan lebih jauh tentang seni beladiri
Okinawa itu di Jepang.
Ditahun 1922 Gichin hijrah sendirian ke Tokyo dalam
rangka menyebar luaskan Tōte sesuai amanat terakhir Itosu yang meninggal pada
1915.Kehidupannya tergolong cukup berat saat itu, pagi ia bekerja sebagai
petugas kebersihan dan tukang kebun dan malam harinya ia memberikan latihan
khusus pada para mahasiswa di asrama Universitas Suidobata, tempat ia menumpang
tinggal untuk sementara.
Salah satu murid awalnya pada saat itu yang paling
menonjol adalah Hironori Otsuka, yang sebelumnya pernah mendalami Ju-jutsu
& Kendo (seni pertarungan pedang dengan penggunaan pedang kayu dalam
latihannya).Selang beberapa waktu kemudian “tangan dingin” nya dalam hal
pelatihan seni beladiri baru ini dengan cepat tersiar kemana – mana dan mampu
untuk membantu kehidupan ekonominya.Hal ini ditunjang pula oleh penerbitan buku
pertamanya yang mengupas masalah Tōte secara mendetail, buku itu berjudul
“Ryukyu Kempo : Tōde”.
Bahkan belakangan ia mampu menyewa tempat khusus untuk
berlatih bagi para murid muridnya dan mendatangkan dua orang putranya, Yoshihide
Funakoshi (putra pertama) & Yoshitaka “Gigo” Funakoshi (putra ketiga), serta
murid utamanya di Okinawa yaitu Takeshi Shimoda untuk membantu ia mengelola
usahanya tersebut.Shimoda dianggap sebagai murid utama Gichin karena ia
disamping murid paling senior dan berbakat besar juga menjadi pendamping
ataupun guru pengganti Gichin dalam sebuah latihan.
Sedang dari kedua putranya itu hanya Gigo yang
mengikuti jejak Gichin sebagai instruktur, dan bagi sementara kalangan di
Shotokan Gigo dianggap sebagai seorang jenius karena beberapa inovasi yang
dihasilkannya.Ia tercatat sebagai pencipta Kizami Zuki, Ura Mawashi Geri, Gyaku
Mikazuki Geri, Gyaku Mawashi Geri, Kata Sochin versi Shotokan dan peletak dasar
dari sistem Jiyu Kumite masa kini (hal ini sebenarnya pertama kali merupakan
ide yang diusulkan dari tiga orang murid Gichin yang kebetulan mempelajari
Kendo) .
Ditahun 1925 Gichin mendapat undangan khusus untuk
dapat mewakili demonstrasi teknik seni beladiri yang berasal dari Okinawa pada
acara rutin tahunan yang digelar oleh Nippon Budōkukai (Asosiasi Beladiri
Jepang) di gedung pusat Butoku Den di Kyoto, yang istimewanya dihadiri oleh
putra mahkota Jepang saat itu yaitu Pangeran Hirohito.
Namanya pun semakin termasyhur kemana – mana dan
salah satu pengagumnya adalah Jigoro Kano, pendiri Judō, yang kemudian mengundangnya
untuk mengunjungi Kodokan, Dōjo miliknya yang merupakan pusat latihan seni
beladiri terbesar & paling terkenal di Jepang pada jaman itu.Dari Jigoro
Kano inilah Gichin mengadopsi beberapa teknik sapuan kaki, bantingan, metode
latihan pertarungan dasar, model pakaian & sistem tingkatan ke dalam
“kurikulum dan identitas” wajib latihannya, yang tetap dipakai sampai saat ini.
Dan yang paling terpenting tentu saja model kurikulum latihan modern & pedoman
moral berdasarkan konsep Dō yang didasari pada ajaran Zen asli yang
diterapkan oleh Jigoro Kano pada Judō Kodokan.Didasari oleh konsep Dō ini juga
maka Gichin melarang diadakannya jenis pertandingan nomor Kumite, jadi yang ada
hanyalah kompetisi nomor Kata di intern Dōjo yang bersangkutan saja.Pada tahun
ini juga ia menerbitkan buku berjudul “Rentan Karate Jutsu”, yang isinya
menjelaskan secara jelas perbedaan Karate dengan Ju-jutsu.
Pada tahun 1932 Gichin membuka dojo resmi
pertamanya di Meishojuku, Tokyo.Namun keberhasilan yang baru dimulai ini mulai
mendapat cobaan, diawali dengan kematian mendadak Takeshi Shimoda pada tahun
1934 , orang yang sangat diharapkannya menjadi penerus.Belum selesai rasa
kehilangan mendalam yang dirasakannya , Gichin dikejutkan oleh pengunduran diri
Hironori Otsuka yang rupanya “ribut” dengan Gigo karena sama - sama mengklaim
diri sebagai pengganti resmi dari Shimoda.
Pada tahun 1935 Hironori Otsuka mendirikan
perguruannya sendiri yang ia beri nama Wado-Ryu (Aliran Jalan Keharmonian) ,
sebagai simbol dari tindakan yang dipilihnya dalam perseteruan dengan Gigo. Pada
tahun yang sama Gogen Yamaguchi, seorang murid utama dari Chojun Miyagi
mendirikan Goju-Kai di kota Kyoto yang diafiliasikan pada nama perguruan yang
didirikan gurunya di Naha yaitu Goju-Ryu ( Go = keras , Ju = lembut,
sedangkan Kai = lembaga/organisasi ).
Sebelumnya pada tahun 1930 Kenwa Mabuni mendirikan
perguruan Shito-Ryu, dimana nama ini merupakan penggabungan dua kata dalam
aksara Kanji Cina yaitu “Ito” dan “Higa” kedalam lafal Jepang yang dimaksudkan
sebagai penghormatan terhadap dua orang gurunya, Anko Itosu dan Kanryo
Higaonna.
Ditahun 1935 Masaru Sawayama, salah seorang murid
utama Kenwa Mabuni, memisahkan diri dan lantas mendirikan Kempo Karate ( aliran
Karate yang dikombinasikan dengan Judō & tinju ).Aliran ini oleh para
pengamat Budō masih dihitung sebagai sebuah aliran dalam Karate-dō. Perlu
diingat harus dibedakan secara jelas keberadaan Kempo Karate yang tak memiliki
kaitan apapun dengan Shorinji Kempo yang telah lebih dulu ada pada tahun
1930.Meskipun secara sepintas nampak hampir sama dengan Tōte tradisional namun
Shorinji Kempo (yang bila diamati seksama sebenarnya banyak mengadopsi teknik
bantingan Judō dan kuncian Aikidō) mengklaim tekniknya sebagai lebih “asli”
dengan versi murni yang dipakai di Shaolin dan tetap mempertahankan nilai
standar tradisionalnya dalam sebuah pertandingan resmi sampai saat ini.Tokoh –
tokoh utama Shorinji Kempo adalah Taizen Takemori, Masahara Hisataka & Sho
Doshin (Nakano Michiomi).
Kembali ke Gichin, menyikapi hal yang terjadi pada
perguruannya ia lebih memilih untuk tidak menjadi “hakim” terhadap siapapun dan
lalu setelah keluarnya Otsuka ia berkonsentrasi pada penulisan bukunya yang
berjudul Karate-dō Kyohan yang diterbitkan pada tahun 1935 . Ada dua hal
penting yang dihasilkan oleh bukunya ini, yaitu :
Yang pertama adalah pemopuleran nama KARATE-DŌ secara besar – besaran untuk mengganti istilah aslinya, TŌTE. Sebenarnya pada tahun 1904 sudah ada penulis buku lain yang bernama Chomo Hanagi yang lebih dulu menggunakan frasa ini dalam bukunya yang berjudul Karate Soshu Hen dan pada periode 1900 ~ 1930-an Tōte juga sering disebut masyarakat Jepang sebagai Karate-jutsu. Namun karena faktor Gichin sebagai seorang guru besar dalam sebuah disiplin seni beladiri maka orang secara umum menganggap dialah yang berjasa menggubah frasa ini.Sejak tahun 1920-an Gichin sudah sering kali menyebut Karate-dō untuk mengganti istilah Tōte, terutama sejak perkenalannya dengan konsep Dō lewat Jigoro Kano.Hal lain yang lebih mendorongnya untuk mempopulerkan frasa ini saat itu sangat mungkin adalah faktor “tekanan” politik.Seperti diketahui bahwa pola pandangan masyarakat Jepang saat itu sangat bersifat ultra-nasionalisme dan chauvinisme ( perasaan kebanggaan yang berlebihan terhadap kehebatan bangsa & negara ).Ditambah lagi dengan pecahnya perang antara Jepang dengan Cina yang berdampak munculnya sentimen akan semua yang “berbau & berasal dari Cina”.Untuk itulah agaknya ia dengan sepenuh hati secara tegas menggunakan frasa ini (yang mana Tōte berasal dari bahasa Cina) disamping mungkin didasari pemikiran lainnya yang lebih bersifat kecocokan karena frasa KARA yang berarti kosong sesuai dengan tampilan Karate-dō yang tak menggunakan senjata.
Yang kedua adalah “peresmian” identitas perguruannya.Seperti diketahui sejak awal Gichin tidak pernah menyebutkan perguruannya dalam sebuah nama resmi ataupun berafiliasi pada sebuah aliran yang lebih dulu ada.Para muridnyalah yang sebenarnya berjasa dalam hal ini.Mereka memberikan nama SHOTOKAN pada perguruannya itu didasari penggunaan nama SHOTO pada inisial tandatangan yang sering dipakai Gichin dalam karya – karya sastranya. Kata KAN sendiri berarti sekolah dalam bahasa Jepang.Untuk lambang perguruan dipakai sebuah gambar harimau dalam bentuk seni grafis yang berasal dari lukisan Cina kunoyang terdapat pada buku karyanya tersebut.
Yang pertama adalah pemopuleran nama KARATE-DŌ secara besar – besaran untuk mengganti istilah aslinya, TŌTE. Sebenarnya pada tahun 1904 sudah ada penulis buku lain yang bernama Chomo Hanagi yang lebih dulu menggunakan frasa ini dalam bukunya yang berjudul Karate Soshu Hen dan pada periode 1900 ~ 1930-an Tōte juga sering disebut masyarakat Jepang sebagai Karate-jutsu. Namun karena faktor Gichin sebagai seorang guru besar dalam sebuah disiplin seni beladiri maka orang secara umum menganggap dialah yang berjasa menggubah frasa ini.Sejak tahun 1920-an Gichin sudah sering kali menyebut Karate-dō untuk mengganti istilah Tōte, terutama sejak perkenalannya dengan konsep Dō lewat Jigoro Kano.Hal lain yang lebih mendorongnya untuk mempopulerkan frasa ini saat itu sangat mungkin adalah faktor “tekanan” politik.Seperti diketahui bahwa pola pandangan masyarakat Jepang saat itu sangat bersifat ultra-nasionalisme dan chauvinisme ( perasaan kebanggaan yang berlebihan terhadap kehebatan bangsa & negara ).Ditambah lagi dengan pecahnya perang antara Jepang dengan Cina yang berdampak munculnya sentimen akan semua yang “berbau & berasal dari Cina”.Untuk itulah agaknya ia dengan sepenuh hati secara tegas menggunakan frasa ini (yang mana Tōte berasal dari bahasa Cina) disamping mungkin didasari pemikiran lainnya yang lebih bersifat kecocokan karena frasa KARA yang berarti kosong sesuai dengan tampilan Karate-dō yang tak menggunakan senjata.
Yang kedua adalah “peresmian” identitas perguruannya.Seperti diketahui sejak awal Gichin tidak pernah menyebutkan perguruannya dalam sebuah nama resmi ataupun berafiliasi pada sebuah aliran yang lebih dulu ada.Para muridnyalah yang sebenarnya berjasa dalam hal ini.Mereka memberikan nama SHOTOKAN pada perguruannya itu didasari penggunaan nama SHOTO pada inisial tandatangan yang sering dipakai Gichin dalam karya – karya sastranya. Kata KAN sendiri berarti sekolah dalam bahasa Jepang.Untuk lambang perguruan dipakai sebuah gambar harimau dalam bentuk seni grafis yang berasal dari lukisan Cina kunoyang terdapat pada buku karyanya tersebut.
Lambang ini sendiri merupakan karya Hoan Kosugi,
sahabat Gichin yang juga seorang pelukis terkenal saat itu. Oleh Gichin lambang
ini dinamakan Tora no Maki (Harimau yang tak pernah terdidur)
sebagai kenangan pada masa pencarian kesempurnaan jiwanya di Okinawa dulu. Ditahun
1937 Gichin memindahkan Dōjonya ke tempat yang lebih besar di daerah
Mejiro.Dōjo ini dijadikan sebagai Dōjo pusat dari seluruh cabang
Shotokan yang telah cukup lama dibuka dibanyak kota
– kota besar oleh para murid – murid seniornya. Gigo berperan sangat besar
dalam latihan di tempat baru ini, bahkan metode yang dipakainya tergolong jauh
lebih keras dibandingkan metode latihan yang dipakai ayahnya.
Banyak diantara para murid yang mengakui bahwa
kelelahan yang mereka rasakan sangat berat dikarenakan energi yang terkuras
sangat banyak bila dibandingkan dengan latihan di tempat lain. Beberapa nama
besar yang mulai muncul pada saat itu adalah Isao Obata, Shigeru Egami,
Masutatsu Oyama, Masatoshi Nakayama, Hidetaka Nishiyama, Hirokazu Kanazawa,
Motokuni Sugiura, Mitsusuke Harada, Tetsuhiko Asai, dll.
Periode ini (sampai tahun 1940) tercatat sebagai
jaman keemasan yang pertama bagi Shotokan. Di akhir perang (tahun 1945) ada dua
kejadian besar yang sangat menggoyahkan jiwa Gichin, pertama hancurnya Dōjo Shotokan
karena serangan udara pasukan Sekutu dan yang kedua adalah kematian Gigo
setelah menderita sakit bawaan dari kecil yang diperparah cukup lama akibat
buruknya kondisi Tokyo selama perang besar itu berlangsung Agaknya setelah
perang selesai terjadi “kestagnanan” yang berlangsung cukup lama, yaitu sekitar
tiga-empat tahunan.
Diakhir tahun 1948 beberapa murid senior Gichin
yang mengepalai Dōjo di universitas – universitas besar terkenal mulai melakukan
gebrakan baru untuk keluar dari situasi ini.Mereka berkumpul dalam rangka usaha
merintis pembentukan sebuah wadah yang lebih condong pada sentuhan manajemen
profesionalisme olahraga modern yang meniru patron dunia olahraga yang
berkembang di Amerika Serikat. Gichin bisa menerima konsep ini dengan didasari
pemikiran agar Karate bisa tersebar keseluruh penjuru dunia sesuai cita – cita
awalnya.
Maka ditahun 1949 berdirilah JKA (Japan Karate
Association) dengan Gichin Funakoshi sebagai Guru Besar, Isao Obata sebagai
Presiden dan Masatoshi Nakayama sebagai Instruktur Kepala. Langkah konsolidasi
yang bersifat “go public” ini segera menarik perhatian dari kesatuan – kesatuan
pasukan Sekutu yang masih berada sampai jangka waktu yang lama di Jepang
setelah Perang Dunia II berakhir.Untuk lebih menarik minat dengan mengandalkan nama besarnya,
Gichin yang pada waktu itu sudah berusia 80-an masih sanggup memberikan
pelatihan di Dojō JKA dan juga menerbitkan buku terakhir yang berjudul
“Karate-dō , my way of life” yang berisikan biografi hidupnya.
Para tentara
Sekutu itu bukan hanya bergabung di JKA saja dan setelah mempelajari
secara serius seni beladiri Jepang lalu membawanya
pulang serta menyebarkan olahraga baru ini yang tergolong masih asing di
telinga dunia Barat pada saat itu.Perlu dicatat bahwa pada saat itu di Eropa
& Amerika orang hanya mengenal Judō & Ju- Jutsu yang tidak memiliki
terlalu banyak peminat.
Di tahun 1952 untuk pertama kalinya secara resmi
sebuah grup yang terdiri atas para perwira muda dan instruktur jasmani militer
dikirim oleh Komando Strategis AU Amerika Serikat ke Jepang untuk mempelajari
secara serius teknik – teknik Judō, Aikidō & Karate-dō.Program latihan
selama tiga bulan ini dimanfaatkan dengan baik oleh JKA untuk melakukan promosi
pada mereka. Dan setelah program selesai dengan cepat para murid Gichin yang
menjadi instruktur di bawah nama JKA tak pernah sepi dalam menerima permintaaan
untuk memperkenalkan sekaligus menjadi instruktur Karate dari seluruh penjuru
dunia terutama di Amerika Serikat & Eropa.Persentuhan ini menimbulkan
sebuah terobosan yang sangat “revolusioner” bagi pemikiran seorang Gichin
Funakoshi yang sederhana, yang selalu mendasarkan ajarannya pada konsep Dō
secara total.
Hal yang revolusioner itu ialah permintaan dan
kebutuhan untuk dapat diadakannya sebuah
kompetisi resmi dalam bentuk sebuah kejuaraan. Meskipun sangat jarang sekali
dicantumkan dalam biografi tentang dirinya, namun berdasarkan dari fakta serta
dokumen yang otentik disebutkan Gichin menolak dengan keras hal ini.Meskipun
JKA tak pernah mengakui secara resmi namun pada kenyataannya di tahun 1955
dengan diikuti oleh Shigeru Egami dan Mitsusuke Harada ia memilih keluar dari
JKA dan tak pernah kembali lagi. Ia lantas “menyepi” dalam sebuah Dojō yang ia
beri nama Shotokai, dimana ia secara total bisa tetap mempertahankan “keaslian”
ajaran dan pandangannya tentang Karate-dō.
Pada akhir tahun 1956, JKA sebagai sponsor utama
sudah mantap untuk menyelenggarakan Turnamen Kejuaraan Karate-dō se-Jepang yang
nantinya akan dianggap sebagai kejuaraan resmi pertama yang pernah diadakan di
dunia modern.Penyelenggaraannya sendiri baru bisa dilaksanakan pada bulan
Oktober 1957 dimana tercatat nama Hirokazu Kanazawa sebagai juara I
dalam nomor Kumite (dua tahun berturut – turut)
& nomor Kata. Agaknya JKA sendiri sangat mungkin baru “berani” melaksanakan
kejuaraan ini setelah Gichin tidak ada.
Gichin Funakoshi , sang maestro besar peletak
metode baru dalam pemahaman akan sebuah seni beladiri yang dinamakannya
Karate-dō (yang mendasari orang untuk menganggapnya sebagai Bapak Karate
Modern) , tutup usia pada tanggal 26 April 1957 dalam usia ± 89 tahun.
SEJARAH ORGANISASI KARATE DUNIA
Maka ditahun 1949 berdirilah JKA (Japan Karate Association)
dengan Gichin Funakoshi sebagai Guru Besar, Isao Obata sebagai Presiden dan
Masatoshi Nakayama sebagai Instruktur Kepala. Langkah konsolidasi yang bersifat
“go public” ini segera menarik perhatian dari kesatuan – kesatuan pasukan
Sekutu yang masih berada sampai jangka waktu yang lama di Jepang setelah Perang
Dunia II
berakhir.Untuk lebih menarik minat dengan
mengandalkan nama besarnya, Gichin yang pada waktu itu sudah berusia 80-an
masih sanggup memberikan pelatihan di Dojō JKA dan juga menerbitkan buku
terakhir yang berjudul “Karate-dō , my way of life” yang berisikan biografi
hidupnya.
Pada akhir tahun 1956, JKA sebagai sponsor utama
sudah mantap untuk menyelenggarakan Turnamen Kejuaraan Karate-dō se-Jepang yang
nantinya akan dianggap sebagai kejuaraan resmi pertama yang pernah diadakan di
dunia modern.Penyelenggaraannya sendiri baru bisa dilaksanakan pada bulan
Oktober 1957 dimana tercatat nama Hirokazu Kanazawa sebagai juara I
dalam nomor Kumite (dua tahun berturut – turut)
& nomor Kata. Agaknya JKA sendiri sangat mungkin baru “berani” melaksanakan
kejuaraan ini setelah Gichin tidak ada.
tahun 1965 oleh Shigeru Egami yang memproklamirkan
Shotokai sebagai sebuah organisasi Karate-do dalam bentuk resmi.Setelah ia
meninggal posisinya digantikan oleh Mitsusuke Harada.Shotokai pun memiliki
pengikut yang cukup besar diseluruh dunia dan tetap mempertahankan keaslian
ajaran Gichin yaitu tidak mengenal adanya pertandingan apapun untuk mengukur
keberhasilan seorang karateka yang menjadi praktisinya.
Sebelumnya pada tahun 1948 Chojiro Tani mendirikan
Shukokai, sebuah perguruan yang mengkombinasikan teknik – teknik Goju-ryu &
Shito-ryu. Salah seorang muridnya yang bernama Nambu Yoshinao memperkenalkan aliran
baru ini ke Prancis yang kemudian mendapatkan antusias yang sangat positif di
Eropa dikarenakan metodenya yang dianggap sangat cocok untuk diterapkan dalam
rangka memenuhi keinginan masyarakat Karate Eropa akan pengembangan Karate sebagai
sebuah olahraga yang bercitarasa modern.Ditahun 1965 Nambu Yoshinao mendirikan
alirannya sendiri yaitu
Nambu-Dō.
Tommy Morris, salah seorang pengikut Nambu Yoshinao
yang berasal dari Skotlandia belakangan mendirikan perguruannya sendiri yang
bernama Kobe Osaka Karate System. Hal ini perlu dimasukkan disini dikarenakan
besarnya pengaruh yang dimainkan oleh Tommy Morris dalam hal penyusunan
peraturan pertandingan yang diadopsi sebagai standar resmi oleh WKF pada saat ini.Peraturan
yang digubah olehnya sangat mengacu pada sumber utama ajaran Shukokai yang
lebih memfokuskan pada unsur observasi ketimbang tradisi.
Di Okinawa pada tahun 1956, Chosin Chibana yang
merupakan guru besar dari aliran Shuri-Te membentuk Okinawa Karate-dō Renmei
sebagai federasi resmi bagi seluruh aliran Karate yang ada di Okinawa. Pada
tahun 1957 Masutatsu Oyama yang sebelumnya sempat mempelajari Shotokan langsung
dari Gichin Funakoshi dan juga sekaligus pernah mendalami Goju-ryu mendirikan
Kyokushinkai , aliran baru yang dciptakannya setelah mengkombinasikan teknik
Shotokan, sistem perkelahian jalanan dan teknik pernapasan serta Kata dari
Goju-ryu yang dikembangkannya melalui pengkajian secara serius dalam waktu yang
cukup lama. Alirannya ini dianggap cukup
ekstrem oleh sebagian pakar Karate-dō dikarenakan
model pertarungannya yang menggunakan sistem Full Body Contact seperti halnya
pada pertarungan tinju.
Pada tahun 1965 berdirilah FAJKO (Federation
of All-Japan Karate-dō Organizations) sebagai wadah bersama dari empat aliran
besar yang ada di Jepang : Shotokan, Shito, Goju dan Wado.Hal ini disusul oleh
berdirinya EKF (European Karate-dō Federation) yang diprakarsai oleh
Henry D. Plee dari Prancis.Bersama FAJKO, EKF membidani lahirnya WUKO (World
Union Karate Organizations) serta penyelenggaraan kejuaraan dunia Karate
pertama pada tahun 1970.Saat ini WUKO telah berganti nama menjadi WKF (World
Karate Federation) dan hanya mengakui empat aliran saja yaitu : Shotokan,
Shito-ryu, Goju-ryu & Wado-ryu.
Sebagai federasi dunia WKF membawahi lima
konfederasi yang mewakili lima regional utama internasional yaitu :
1. UAKF (Union of African Karate Federation)
2. AKF (Asian Karate Federation)
3. EKF (European Karate Federation)
4. OKF (Oceanian Karate Federation)
5. PKF (PanAmerican Karate Federation)
Berbeda dengan di Indonesia maka hampir semua organisasi / perguruan Karate
besar di dunia saat ini pada umumnya secara tegas menyatakan dirinya sebagai
lembaga yang murni bergerak hanya pada bidang olahraga secara profesional dan
bukan merupakan organisasi yang bersifat / berkaitan dengan unsur sosial
politik apapun juga.
"Sumber Bab III Sejarah Karate PB Forki Attachment"
KARATE MASUK KE INDONESIA
Karate
masuk di Indonesia bukan dibawa oleh tentara Jepang melainkan oleh
Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembali ke tanah air, setelah menyelesaikan
pendidikannya di Jepang. Tahun 1963 beberapa Mahasiswa Indonesia antara lain:
Baud AD Adikusumo, Karianto Djojonegoro, Mochtar Ruskan dan Ottoman Noh
mendirikan Dojo di Jakarta. Mereka inilah yang mula-mula memperkenalkan karate
(aliran Shoto-kan) di Indonesia, dan selanjutnya mereka membentuk wadah yang
mereka namakan Persatuan Olahraga Karate Indonesia (PORKI) yang diresmikan tanggal
10 Maret 1964 di Jakarta.
Beberapa
tahun kemudian berdatangan ex Mahasiswa Indonesia dari Jepang seperti Setyo
Haryono (pendiri Gojukai), Anton Lesiangi, Sabeth Muchsin dan Chairul Taman
yang turut mengembangkan karate di tanah air. Disamping ex Mahasiswa-mahasiswa
tersebut di atas orang-orang Jepang yang datang ke Indonesia dalam rangka usaha
telah pula ikut memberikan warna bagi perkembangan karate di Indonesia.Mereka-mereka
ini antara lain: Matsusaki (Kushinryu-1966), Ishi (Gojuryu-1969),Hayashi (Shitoryu-1971)
dan Oyama (Kyokushinkai-1967).
Karate
ternyata memperoleh banyak penggemar, yang implementasinya terlihat muncul dari
berbagai macam organisasi (Pengurus) karate, dengan berbagai aliran seperti
yang dianut oleh masing-masing pendiri perguruan. Banyaknya perguruan karate
dengan berbagai aliran menyebabkan terjadinya ketidak cocokan diantara para
tokoh tersebut, sehingga menimbulkan perpecahan di dalam tubuh PORKI. Namun
akhirnya dengan adanya kesepakatan dari para tokoh-tokoh karate untuk kembali
bersatu dalam upaya mengembangkan karate di tanah air sehingga pada tahun 1972
hasil Kongres ke IV PORKI, terbentuklah satu wadah organisasi karate yang
diberi nama Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI).
Sejak
FORKI berdiri sampai dengan saat ini kepengurusan di tingkat Pusat yang dikenal
dengan nama Pengurus Besar/PB. telah dipimpin oleh 6 orang Ketua Umum dan
periodisasi kepengurusannyapun mengalama 3 kali perobahan masa periodisasi
yaitu ; periode 5 tahun (ditetapkan pada Kongres tahun 1972 untuk kepengurusan
periode tahun 1972 – 1977) periodisasi 3 tahun (ditetapkan pada kongres tahun
1997 untuk kepengurusan periode tahun 1997 – 1980) dan periodisasi 4 tahun (
Berlaku sejak kongres tahun 1980 sampai sekarang).
Di
tahun 1964,
kembalilah ke tanah air salah seorang mahasiswa Indonesia yang telah
menyelesaikan kuliahnya bernama Baud A.D. Adikusumo. Ia adalah seorang karateka
yang mendapatkan sabuk hitam dari M. Nakayama, JKA. Ia mulai mengajarkan
karate. Pada Tahun 1967 beliau berkumpul dengan dua mahasiswa Indonesia yang
juga telah menyelesaikan kuliah dari Jepang yakni Sabeth Mukhsin dan Anton
Lesiangi. Pada tahun 1970, Sabeth Mukhsin beserta dengan Baud A.D. Adikusumo
dan Anton Lesiangi Mendirikan PORKI (Persatuan Olah Raga Karate Indonesia) yang
kemudian berganti nama menjadi FORKI (Federasi Olahraga Karate Indonesia). Pada
waktu itu Sabeth Mukhsin telah mendapatkan tingkatan DAN 3 dari JKA (Japan
Karate Association) yang merupakan DAN tertinggi di Indonesia pada waktu itu,
Anton Lesiangi (DAN 1 JKA) dan Baud A.D. Adikusumo (DAN 1 JKA)
Sabeth
Mukhsin, Anton Lesiangi beserta Baud A.D.Adikusumo akhirnya mendirikan Lembaga
Pendidikan Karate yg disebut INKAI (Institut Karate-Do Indonesia)pada tahun
1971 yang dikenal sebagai Perguruan (Lembaga Pendidikan) pertama di Indonesia.
Beberapa
tahun kemudian Baud A.D. Adikusumo mendirikan Institut Karate Do (INKADO) dan
Anton Lesiangi mendirikan Perguruan Lemkari (Lembaga Karate-Do Indonesia), yang
pada dekade 2005 karena urusan internal banyak anggota Lemkari yang keluar dan
dipecat yang kemudian mendirikan INKANAS (Institut Karate-do Nasional) yang
merupakan peleburan dari perguruan MKC (Medan Karate club).
Dari
situlah berkembang apa yg disebut Aliran Karate lain yaitu Wado dibawah
asuhanWado-ryu Karate-Do
Indonesia (WADOKAI) yang didirikan oleh C.A. Taman dan Kushin-ryu Matsuzaki
Karate-Do Indonesia (KKI) yang didirikan oleh Matsuzaki Horyu. Selain itu juga
dikenal Setyo Haryono dan beberapa tokoh lainnya membawa aliran Goju-ryu. Nardi
T. Nirwanto dengan beberapa tokoh lainnya membawa aliran Kyokushin.
Aliran Shito-ryu juga tumbuh di Indonesia dibawah perguruan GABDIKA Shitoryu
(dengan tokohnya Dr. Markus Basuki) dan SHINDOKA (dengan tokohnya Bert
Lengkong). Selain aliran-aliran yang bersumber dari Jepang diatas, ada juga
beberapa aliran Karate di Indonesia yang dikembangkan oleh putra-putra bangsa
Indonesia sendiri, sehingga menjadi independen dan tidak terikat dengan aturan
dari Hombu Dojo (Dojo Pusat) di negeri Jepang.
Pada
tahun 1972, 25
perguruan Karate di Indonesia, baik yang berasal dari Jepang maupun yang
dikembangkan di Indonesia sendiri (independen), setuju untuk bergabung dengan
FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia), yang sekarang menjadi perwakilan
WKF (World Karate Federation) untuk Indonesia. Dibawah bimbingan FORKI, para
Karateka Indonesia dapat berlaga di forum Internasional terutama yang
disponsori oleh KONI.
Pada
Tahun 1985 terjadi kericuhan di badan organisasi FORKI, dan muncullah induk
organisasi cabang olahraga Karate yang baru yang disebut PKSI (Persatuan Karate
Seluruh Indonesia) yang memakai sistem organisasi Cabang Olahraga yang memiliki
kurikulum baku tanpa menganut Aliran Karate. Pada tahun 2000, PKSI pun berganti
nama menjadi FKTI (Federasi Karate Tradisional Indonesia) Sampai saat ini di
Indonesia ada 2 Induk Organisasi Cabang Olahraga Karate, yakni FORKI (yang
menganut Cabang Olahraga Karate Aliran) dan FKTI (yang menganut Cabang Olahraga
Karate tanpa Aliran).
"Sumber Bab III Sejarah Karate PB Forki Attachment"
oshh!
ReplyDeletelengkap.. jadi tau nih sejarah karate,, tks banget udah share pengetahuannya