Sunday, 16 March 2014

Sejarah Karate

Karate adalah seni bela diri yang berasal dari Jepang. Seni bela diri karate dibawa masuk ke Jepang lewat Okinawa. Okinawa sendiri merupakan sebuah pulau yang termasuk dalam rangkaian kepulauan Ryukyu, yang menjadi pelabuhan transit penghubung Jepang dengan dunia luar pada jaman kuno.Sesuai pemaparan Drs. N.Daldjoeni (lihat Ras –ras Umat Manusia ,PT Citra Aditya Bakti, 1991) tentang teori penyebaran manusia di benua Asia maka besar kemungkinan penduduk asli Okinawa ditilik secara antropofisiologis bukan termasuk subras yang sama dengan umumnya penduduk Jepang (Ainu-Mongoloid) melainkan lebih dekat dengan subras yang dominan di Asia Tenggara (Paleo-Mongoloid).Hal ini tidaklah mengherankan karena secara geografis ia lebih dekat dengan pulau Formosa
(kini Taiwan) daripada dengan empat pulau utama Jepang lainnya (Shikoku, Kyushu , Honshu & Hokkaido).

Bukti kuat yang mendukung hal itu bisa dilihat pada penggunaan alat – alat pertanian tradisional (yang kemudian dipakai sebagai alat pelengkap dalam seni beladiri mereka) yang berasal dan memiliki kemiripan dengan alat – alat pertanian tradisional yang ada di Asia Tenggara.Okinawa yang memiliki tiga kota besar sebagai kota utamanya pada jaman itu yaitu Tomari , Shuri dan Naha selama ratusan tahun sesuai catatan sejarah ternyata sangat menarik minat kekaisaran Cina, Korea dan Jepang untuk saling silih berganti menancapkan pengaruh di daerah kepulauan yang strategis tersebut.

Hal mana yang memungkinkan terjadinya percampuran unsur – unsur budaya (termasuk seni beladiri) dari ketiga negara tersebut.Masuknya pengaruh seni beladiri Cina yang paling awal tercatat dalam sejarah resmi adalah ketika pada tahun 1393 sebuah ekspedisi militer yang dikirim dan lalu menetap disana sebagai semacam tentara bantuan oleh kaisar Hung Wu dari dinasti Ming pada raja Satto ; penguasa Okinawa pada saat itu ; dengan dampak sampingan diperkenalkannya beberapa keunggulan teknik perang mereka. (Meitoku Yagi, salah seorang guru besar Goju-ryu di Okinawa pada abad 20 merupakan keturunan langsung dari salah seorang anggota ekspedisi militer tersebut).

Namun akhirnya ditahun 1429 di bawah Kaisar Shōhasi dari Chuzan , Okinawa dapat disatukan dan dikuasai secara penuh oleh Jepang hingga saat ini. Rupanya setelah penaklukan itu masih banyak terjadi usaha perlawanan & pemberontakan dari para penduduk asli yang mendapat bantuan penuh secara rahasia dari Cina ; sehingga untuk “mengamankannya” secara lebih efektif maka pada jaman kaisar Shoshin (1477 – 1526) dikeluarkanlah suatu aturan yang sangat ketat tentang pengaturan kepemilikan senjata pada rakyat Okinawa.Keekstreman aturan ini mencapai puncaknya pada masa penguasaan Okinawa oleh Shimazu Iehisa dari klan Satsuma yang mulai berkuasa pada tahun 1609. Disebutkan bahwa hanya boleh ada sebuah pisau saja untuk sebuah desa dan itupun diikat dengan rantai besi di pos patroli tentara yang ada.Faktor

inilah akhirnya yang membangkitkan kembali gairah mereka untuk menggunakan Tōte sebagai “senjata pengganti” yang paling utama dan siap digunakan kapan saja dalam usaha untuk mempertahankan diri dari penindasan tentara maupun ancaman para penjahat bersenjata yang banyak berkeliaran. Klan Satsuma yang berasal dari Kagoshima ini berkuasa hingga tahun 1872, dan selama sekitar 260 tahun masa kekuasaan mereka (dihitung hanya sampai dengan dimulainya restorasi Meiji pada tahun 1868) catatan sejarah resmi tentang Tōte di Okinawa sangat minim yang sempat tercatat hanyalah tentang partisipasinya sebagai sebuah kemampuan khusus dalam kalangan separatis Okinawa yang terus menerus melakukan gerakan bawah tanah dalam perjuangannya dan dianggap sangat berbahaya & mengancam secara tak langsung bagi kalangan militer yang berkuasa. Oleh karena itulah disebutkan bahwa seni beladiri ini sangat dijaga sekali kerahasiaannya dan hanya dikembangkan langsung secara turun temurun di kalangan pria (dari kepala keluarga hanya pada putra tertuanya yang akan menjadi penggantinya) dalam keluarga bangsawan (shizoku) Okinawa, bahkan dalam banyak kasus didapati anggota keluarga yang tak diwarisi / tidak mempelajari Tōte dipastikan tidak akan mengetahui sama sekali bahwa ada diantara anggota keluarga mereka yang menguasai seni beladiri tersebut. Ada dua ungkapan yang menggambarkan kondisi diatas pada jaman itu, yaitu : Reimyō Tōte (tangan yang ajaib) & Shimpi Tōte (tangan yang misterius).

Barulah kemudian mulai akhir abad 17 ada beberapa nama yang “berani” muncul ke hadapan publik , dikarenakan mereka memiliki posisi yang cukup kuat dalam lingkup elit politik klan Satsuma yang memerintah.Mereka dihormati namanya sampai saat ini dalam dunia Karate-dō dikarenakan mereka juga merupakan pencipta beberapa buah Kata standar yang paling umum dipakai. Mereka itu berasal dari tiga kelompok yang berbeda, yaitu :
1.  Dari kalangan perwira intelijen militer kekaisaran Cina yang “difungsikan” sebagai semacam atase perdagangan di Okinawa, nama – nama yang dikenal adalah Iwah lalu Wansu/Wanshu ( yang menciptakan Kata jenis Enpi ) dan terakhir Guan Kui atau dalam bahasa Jepang ia dilafalkan menjadi Kushanku / Koshokun dan merupakan pencipta Kata jenis Kanku.

2.  Dari kalangan samurai (punggawa militer) yang mengabdi di kastil bangsawan klan Satsuma yang berkuasa, namun mereka aslinya adalah orang Okinawa yang mungkin pernah merantau ke Cina untuk mempelajari teknik – teknik ch’uan-fa tingkat tinggi Tercatat nama – nama berikut : Peichin Takahara , Tode Sakugawa, Gusukuma dan yang paling terkenal tentu saja Sokon “Bushi” Matsumura yang merupakan penggubah Kata jenis Bassai

3.  Dari kalangan penduduk asli yang sangat militan dalam melawan kekuasaan kekaisaran Jepang dan pergi ke Cina selama bertahun - tahun untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Tōte dan ch’uan-fa kemudian  kembali lagi ke Okinawa untuk mengajarkan kemampuan mereka itu pada teman – teman seperjuangannya. Yang paling dikenal adalah Yara yang berasal dari kota Chatan, dimana ia menggubah beberapa buah Kata yang sudah ada ke dalam versinya sendiri yang didasari pada jenis ch’uan-fa dari Cina bagian selatan.Saat ini hasil karyanya itu dikenal dalam golongan Kata jenis Chatanyara / Chatan Yara.

Seiring melemahnya pengaruh kekuasaan klan Satsuma di Okinawa pada abad 19, maka para pewaris Tōte di masa itu mulai berani menunjukkan taringnya di depan umum dan juga menerima murid dari luar kalangan rahasia mereka. Dikatakan sering terjadi semacam persaingan yang cukup keras diantara keluarga para bangsawan yang perguruan Tōte, hal ini lebih disebabkan karena faktor melemahnya kekuatan musuh bersama yaitu klan Satsuma sehingga masing – masing dari mereka pun mulai menonjolkan ego untuk berusaha mendapatkan kewibawaan dikalangan rakyat kebanyakan. Barulah setelah restorasi Meiji persaingan yang “ketat” itu mulai berkurang sedikit demi sedikit dikarenakan mulai terbukanya kontak budaya Jepang dengan luar negeri secara bebas sehingga pola kehidupan keras samurai ala jaman Shogun berangsur ditinggalkan menuju kearah modernisasi.Ada tiga tokoh besar yang sangat menonjol pada “angkatan” ini yaitu : Yasutsune Azato, Yasutsune “Anko” Itosu dan Kanryo Higaonna.Mereka bertiga secara kebetulan pernah menimba ilmu
dari guru yang sama yaitu Sokon Matsumura.

Tōte pada abad 17~19 biasanya dibedakan dalam beberapa gaya sebagai berikut 
1.   Berdasarkan aliran ch’uan-fa yang mempengaruhinya secara dominan dalam Kata maka ada dua jenis aliran besar Tōte, yaitu :
a.   Shorin , berasal dari ch’uan-fa aliran utara yang memiliki banyak teknik melompat sehingga mengembangkan kekuatan pinggul dan kaki.Hal ini disebabkan karena wilayah bagian utara Cina terdiri dari padang rumput dan tanah datar luas yang gersang sehingga dampak pada gaya sebuah pertarungan adalah jarak yang cukup jauh, pergerakan yang lebih dominan dalam sebuah garis lurus, kedinamisan kuda – kuda yang panjang dan tampilan yang kaku dari sebuah teknik namun memiliki keakuratan yang tinggi pada sasaran.

b.  Shorei , berasal dari ch’uan-fa aliran selatan yang memiliki keunggulan dalam hal keseimbangan dan kekuatan tubuh bagian atas.Hal ini disebabkan karena wilayah bagian selatan Cina terdiri dari areal persawahan dan rawa – rawa yang lunak dan licin sehingga dampak pada gaya sebuah pertarungan adalah jarak yang dekat, pergerakan yang didasari pada teori titik tengah sebuah lingkaran, kekokohan kuda kuda yang pendek dan keluwesan tampilan sebuah teknik terutama tangan namun secara dominan diiringi pengerahan tenaga secara besar.
2.  Berdasarkan tempat perkembangannya selama ratusan tahun di Okinawa maka dikenal ada tiga jenis Tōte, yaitu :
a.  Shuri-Te , yaitu Tōte yang berkembang di kota Shuri dan pada umumnya teknik pertarungan & jenis Kata yang dikembangkan di sini termasuk kelompok Shorin.Saat ini di Okinawa ada tiga perguruan besar yang masih mengajarkan ajaran Shuri-Te secara aslinya :
  • Matsubayashi-ryu, didirikan oleh Shosin Nagamine.
  • Kobayashi-ryu, didirikan oleh Chosin Chibana
  • Shorin-ryu , perguruan tertua yang didirikan langsung oleh Sokon Matsumura.
b.  Naha-Te , yaitu Tōte yang berkembang di kota Naha dan pada umumnya teknik pertarungan & jenis Kata yang dikembangkan di sini termasuk kelompok Shorei.Saat ini di Okinawa ada dua perguruan besar yang masih mengajarkan ajaran Naha-Te secara aslinya :

  • Uechi-ryu, didirikan oleh Kanbun Uechi.
  • Goju-ryu, didirikan oleh Chojun Miyagi dan lalu cukup terkenal di bawah pimpinan Meitoku Yagi.

c.  Tomari-Te , yaitu Tōte yang berkembang di kota Tomari dan pada umumnya teknik pertarungan & jenis Kata yang dikembangkan di sini adalah kombinasi dari kelompok Shorin dan Shorei.Nama - nama tokoh yang biasa dimasukkan dalam aliran ini adalah Gusukuma, Kosaku, Matsumora, Kokan Oyadomari, Sanda Kanagushiku dan Gichin Funakoshi (meskipun tidak mengadopsi 100% sesuai aslinya namun tetap dihitung sebagai salah satu penerusnya).

Dewasa ini Tomari-Te dianggap secara lebih umum sebagai salah satu cabang dari Shuri-Te.

 BIOGRAFI GICHIN FUNAKOSHI

Di perempat terakhir abad 19 muncullah nama – nama yang kelak di kemudian hari dianggap sebagai para perintis yang merenovasi Tōte untuk dapat menjadi apa yang kita kenal sebagai Karate.Mereka itu diantaranya adalah Ankichi Arakaki, Chojun Miyagi, Kenwa Mabuni, Kanbun Uechi, Shoshin Nagamine, GICHIN FUNAKOSHI foto bawah), dll.

Sehubungan dengan fokus buku ini adalah pada aliran Shotokan , maka untuk kelanjutan perkembangan sejarah Karate dari awal abad 20 akan saya mulai dengan
pemaparan khusus mengenai profil dan sepak terjang Gichin Funakoshi sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas munculnya aliran yang dianggap paling banyak memiliki pengikut diseluruh dunia pada saat ini.

Gichin Funakoshi lahir dari kalangan shizoku (keluarga bangsawan) di kota Shuri, Okinawa pada tahun 1868. Masa pendidikannya di usia anak – anak hingga remaja adalah bersamaan dengan dimulainya era modern Jepang, periode Restorasi Meiji.Sehingga hal ini sangat mungkin memberi warna tersendiri bagi perkembangan wawasan pemikiran & kejiwaannya dalam menyebarluaskan Karate kelak dikemudian hari.Dimasa pertunbuhannya ia berada dalam sebuah masa transisi penting , saat dimana nilai – nilai tradisional yang bersifat konservatif-spritual mulai digeser oleh nilai – nilai modern yang bersifat dinamis-liberal. Namun hebatnya, ia mampu untuk memadukan keduanya dalam bentuk sebuah disiplin seni beladiri yang notabene bercitarasa kuno tapi setelah diolah secara unik dapat disajikannya untuk menjadi sebuah hasil peradaban yang sesuai selera modernitas manusia.

Sejak kecil badannya tergolong lemah dan sering sakit – sakitan, hingga oleh ayahnya ia dibawa kepada Tokashiki, seorang tabib terkenal di Okinawa pada saat itu.Tabib inilah yang kemudian disamping mengobati penyakitnya secara teratur juga menyarankan pada ayahnya agar Gichin berlatih Tōte untuk dapat memperkuat & menjaga kondisi fisiknya.Pada usia 11 tahun oleh ayahnya ia diantar pada Yasutsune “Anko” Itosu .Guru pertamanya ini terkenal sebagai guru besar teknik Tōte dari jenis Shuri-Te (yang beraliran Shorin) yang juga sebagai maestro terkenal penggubah Kata dari kedua aliran besar, Shorin & Shorei.Beberapa tahun kemudian Itosu mengantar Gichin pada Yasutsune Azato, teman seperguruannya yang juga ahli Tōte jenis Shuri-Te, untuk lebih meningkatkan penguasaannya akan seluruh jenis Tōte yang ada di Okinawa.Diakhir masa panjang studinya tersebut Gichin juga sempat menimba ilmu secara langsung pada Sokon “Bushi” Matsumura & Kokan Oyadomari.

Disamping mempelajari seni beladiri , Gichin juga dikenal gemar mempelajari filsafat dan sastra.Untuk lebih memperdalam pencarian jiwanya akan sebuah inspirasi yang menuntunnya pada pencapaian puncak akan kemurnian nilai filosofis dari Budō , ia sering sekali bermeditasi atau menjelajahi sebuah hutan cemara ( dalam bahasa Jepang disebut TO ) yang cukup sejuk karena selalu dialiri oleh hembusan angin yang sepoi – sepoi ( dalam bahasa Jepang disebut SHO ) dikaki sebuah bukit yang terkenal dengan sebutan bukit Tora no Maki (harimau yang tak pernah tidur) di pinggiran kota Shuri, Okinawa.

Dibidang sastra ia diketahui banyak sekali menulis kaligrafi dan menghasilkan beberapa buah buku penting tentang beladiri (khususnya Karate-dō), yaitu :
1. Ryukyu Kempo : Tōde (1922)
2. Rentan Goshin Karate Jutsu (1925)
3. Karate-dō Kyohan (1936)
4. Karate-dō Nyūmon (1939)
5. Karate-dō , my way of life (1949)
Semua hasil karyanya dibidang sastra ini selalu dibubuhinya dengan tandatangan / stempel yang berbunyi SHOTO.

Ditahun 1903 Gichin bersama Itosu untuk pertama kalinya secara resmi memperkenalkan Tōte pada Shintaro Ogawa, seorang pejabat pemerintahan Jepang yang menjabat sebagai kepala sekolah kerajaan tingkat menengah pertama di Naha, Okinawa.Terkesan akan seni beladiri ini maka sang kepala sekolah meminta agar Tōte dimasukkan dalam kurikulum wajib mata pelajaran pendidikan jasmani di sekolahnya.Untuk itu Itosu menggubah lima buah Kata jenis Heian yang diambil dari Kanku-Dai agar dapat dipakai sebagai dasar awal untuk mempelajari Tōte, dan selanjutnya Gichin yang bertindak sebagai instrukturnya selama belasan tahun.

Ditahun 1917 atas permintaan Departemen Pendidikan Jepang maka Direktorat Pendidikan Jasmani pun mempromosikan Gichin untuk mendemonstrasikan Tōte dalam upacara pembukaan Kejuaraan Atletik Nasional di Tokyo. Peragaan Tōte yang dilakukannya mengundang aplaus serta minat banyak pihak dari kalangan akademis yang menyaksikannya saat itu.Ia pun banyak sekali mendapat tawaran dan undangan untuk memperkenalkan lebih jauh tentang seni beladiri Okinawa itu di Jepang.

Ditahun 1922 Gichin hijrah sendirian ke Tokyo dalam rangka menyebar luaskan Tōte sesuai amanat terakhir Itosu yang meninggal pada 1915.Kehidupannya tergolong cukup berat saat itu, pagi ia bekerja sebagai petugas kebersihan dan tukang kebun dan malam harinya ia memberikan latihan khusus pada para mahasiswa di asrama Universitas Suidobata, tempat ia menumpang tinggal untuk sementara.

Salah satu murid awalnya pada saat itu yang paling menonjol adalah Hironori Otsuka, yang sebelumnya pernah mendalami Ju-jutsu & Kendo (seni pertarungan pedang dengan penggunaan pedang kayu dalam latihannya).Selang beberapa waktu kemudian “tangan dingin” nya dalam hal pelatihan seni beladiri baru ini dengan cepat tersiar kemana – mana dan mampu untuk membantu kehidupan ekonominya.Hal ini ditunjang pula oleh penerbitan buku pertamanya yang mengupas masalah Tōte secara mendetail, buku itu berjudul “Ryukyu Kempo : Tōde”.

Bahkan belakangan ia mampu menyewa tempat khusus untuk berlatih bagi para murid muridnya dan mendatangkan dua orang putranya, Yoshihide Funakoshi (putra pertama) & Yoshitaka “Gigo” Funakoshi (putra ketiga), serta murid utamanya di Okinawa yaitu Takeshi Shimoda untuk membantu ia mengelola usahanya tersebut.Shimoda dianggap sebagai murid utama Gichin karena ia disamping murid paling senior dan berbakat besar juga menjadi pendamping ataupun guru pengganti Gichin dalam sebuah latihan.

Sedang dari kedua putranya itu hanya Gigo yang mengikuti jejak Gichin sebagai instruktur, dan bagi sementara kalangan di Shotokan Gigo dianggap sebagai seorang jenius karena beberapa inovasi yang dihasilkannya.Ia tercatat sebagai pencipta Kizami Zuki, Ura Mawashi Geri, Gyaku Mikazuki Geri, Gyaku Mawashi Geri, Kata Sochin versi Shotokan dan peletak dasar dari sistem Jiyu Kumite masa kini (hal ini sebenarnya pertama kali merupakan ide yang diusulkan dari tiga orang murid Gichin yang kebetulan mempelajari Kendo) .

Ditahun 1925 Gichin mendapat undangan khusus untuk dapat mewakili demonstrasi teknik seni beladiri yang berasal dari Okinawa pada acara rutin tahunan yang digelar oleh Nippon Budōkukai (Asosiasi Beladiri Jepang) di gedung pusat Butoku Den di Kyoto, yang istimewanya dihadiri oleh putra mahkota Jepang saat itu yaitu Pangeran Hirohito.

Namanya pun semakin termasyhur kemana – mana dan salah satu pengagumnya adalah Jigoro Kano, pendiri Judō, yang kemudian mengundangnya untuk mengunjungi Kodokan, Dōjo miliknya yang merupakan pusat latihan seni beladiri terbesar & paling terkenal di Jepang pada jaman itu.Dari Jigoro Kano inilah Gichin mengadopsi beberapa teknik sapuan kaki, bantingan, metode latihan pertarungan dasar, model pakaian & sistem tingkatan ke dalam “kurikulum dan identitas” wajib latihannya, yang tetap dipakai sampai saat ini. Dan yang paling terpenting tentu saja model kurikulum latihan modern & pedoman moral berdasarkan konsep yang didasari pada ajaran Zen asli yang diterapkan oleh Jigoro Kano pada Judō Kodokan.Didasari oleh konsep Dō ini juga maka Gichin melarang diadakannya jenis pertandingan nomor Kumite, jadi yang ada hanyalah kompetisi nomor Kata di intern Dōjo yang bersangkutan saja.Pada tahun ini juga ia menerbitkan buku berjudul “Rentan Karate Jutsu”, yang isinya menjelaskan secara jelas perbedaan Karate dengan Ju-jutsu.

Pada tahun 1932 Gichin membuka dojo resmi pertamanya di Meishojuku, Tokyo.Namun keberhasilan yang baru dimulai ini mulai mendapat cobaan, diawali dengan kematian mendadak Takeshi Shimoda pada tahun 1934 , orang yang sangat diharapkannya menjadi penerus.Belum selesai rasa kehilangan mendalam yang dirasakannya , Gichin dikejutkan oleh pengunduran diri Hironori Otsuka yang rupanya “ribut” dengan Gigo karena sama - sama mengklaim diri sebagai pengganti resmi dari Shimoda.

Pada tahun 1935 Hironori Otsuka mendirikan perguruannya sendiri yang ia beri nama Wado-Ryu (Aliran Jalan Keharmonian) , sebagai simbol dari tindakan yang dipilihnya dalam perseteruan dengan Gigo. Pada tahun yang sama Gogen Yamaguchi, seorang murid utama dari Chojun Miyagi mendirikan Goju-Kai di kota Kyoto yang diafiliasikan pada nama perguruan yang didirikan gurunya di Naha yaitu Goju-Ryu ( Go = keras , Ju = lembut, sedangkan Kai = lembaga/organisasi ).

Sebelumnya pada tahun 1930 Kenwa Mabuni mendirikan perguruan Shito-Ryu, dimana nama ini merupakan penggabungan dua kata dalam aksara Kanji Cina yaitu “Ito” dan “Higa” kedalam lafal Jepang yang dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap dua orang gurunya, Anko Itosu dan Kanryo Higaonna.

Ditahun 1935 Masaru Sawayama, salah seorang murid utama Kenwa Mabuni, memisahkan diri dan lantas mendirikan Kempo Karate ( aliran Karate yang dikombinasikan dengan Judō & tinju ).Aliran ini oleh para pengamat Budō masih dihitung sebagai sebuah aliran dalam Karate-dō. Perlu diingat harus dibedakan secara jelas keberadaan Kempo Karate yang tak memiliki kaitan apapun dengan Shorinji Kempo yang telah lebih dulu ada pada tahun 1930.Meskipun secara sepintas nampak hampir sama dengan Tōte tradisional namun Shorinji Kempo (yang bila diamati seksama sebenarnya banyak mengadopsi teknik bantingan Judō dan kuncian Aikidō) mengklaim tekniknya sebagai lebih “asli” dengan versi murni yang dipakai di Shaolin dan tetap mempertahankan nilai standar tradisionalnya dalam sebuah pertandingan resmi sampai saat ini.Tokoh – tokoh utama Shorinji Kempo adalah Taizen Takemori, Masahara Hisataka & Sho Doshin (Nakano Michiomi).

Kembali ke Gichin, menyikapi hal yang terjadi pada perguruannya ia lebih memilih untuk tidak menjadi “hakim” terhadap siapapun dan lalu setelah keluarnya Otsuka ia berkonsentrasi pada penulisan bukunya yang berjudul Karate-dō Kyohan yang diterbitkan pada tahun 1935 . Ada dua hal penting yang dihasilkan oleh bukunya ini, yaitu :

Yang pertama adalah pemopuleran nama KARATE-DŌ secara besar – besaran untuk mengganti istilah aslinya, TŌTE. Sebenarnya pada tahun 1904 sudah ada penulis buku lain yang bernama Chomo Hanagi yang lebih dulu menggunakan frasa ini dalam bukunya yang berjudul Karate Soshu Hen dan pada periode 1900 ~ 1930-an Tōte juga sering disebut masyarakat Jepang sebagai Karate-jutsu. Namun karena faktor Gichin sebagai seorang guru besar dalam sebuah disiplin seni beladiri maka orang secara umum menganggap dialah yang berjasa menggubah frasa ini.Sejak tahun 1920-an Gichin sudah sering kali menyebut Karate-dō untuk mengganti istilah Tōte, terutama sejak perkenalannya dengan konsep Dō lewat Jigoro Kano.Hal lain yang lebih mendorongnya untuk mempopulerkan frasa ini saat itu sangat mungkin adalah faktor “tekanan” politik.Seperti diketahui bahwa pola pandangan masyarakat Jepang saat itu sangat bersifat ultra-nasionalisme dan chauvinisme ( perasaan kebanggaan yang berlebihan terhadap kehebatan bangsa & negara ).Ditambah lagi dengan pecahnya perang antara Jepang dengan Cina yang berdampak munculnya sentimen akan semua yang “berbau & berasal dari Cina”.Untuk itulah agaknya ia dengan sepenuh hati secara tegas menggunakan frasa ini (yang mana Tōte berasal dari bahasa Cina) disamping mungkin didasari pemikiran lainnya yang lebih bersifat kecocokan karena frasa KARA yang berarti kosong sesuai dengan tampilan Karate-dō yang tak menggunakan senjata.

Yang kedua adalah “peresmian” identitas perguruannya.Seperti  diketahui sejak awal Gichin tidak pernah menyebutkan perguruannya dalam sebuah nama resmi ataupun berafiliasi pada sebuah aliran yang lebih dulu ada.Para muridnyalah yang sebenarnya berjasa dalam hal ini.Mereka memberikan nama SHOTOKAN pada perguruannya itu didasari penggunaan nama SHOTO pada inisial tandatangan yang sering dipakai Gichin dalam karya – karya sastranya. Kata KAN sendiri berarti sekolah dalam bahasa Jepang.Untuk lambang perguruan dipakai sebuah gambar harimau dalam bentuk seni grafis yang berasal dari lukisan Cina kunoyang terdapat pada buku karyanya tersebut.

Lambang ini sendiri merupakan karya Hoan Kosugi, sahabat Gichin yang juga seorang pelukis terkenal saat itu. Oleh Gichin lambang ini dinamakan Tora no Maki (Harimau yang tak pernah terdidur) sebagai kenangan pada masa pencarian kesempurnaan jiwanya di Okinawa dulu. Ditahun 1937 Gichin memindahkan Dōjonya ke tempat yang lebih besar di daerah Mejiro.Dōjo ini dijadikan sebagai Dōjo pusat dari seluruh cabang
Shotokan yang telah cukup lama dibuka dibanyak kota – kota besar oleh para murid – murid seniornya. Gigo berperan sangat besar dalam latihan di tempat baru ini, bahkan metode yang dipakainya tergolong jauh lebih keras dibandingkan metode latihan yang dipakai ayahnya.

Banyak diantara para murid yang mengakui bahwa kelelahan yang mereka rasakan sangat berat dikarenakan energi yang terkuras sangat banyak bila dibandingkan dengan latihan di tempat lain. Beberapa nama besar yang mulai muncul pada saat itu adalah Isao Obata, Shigeru Egami, Masutatsu Oyama, Masatoshi Nakayama, Hidetaka Nishiyama, Hirokazu Kanazawa, Motokuni Sugiura, Mitsusuke Harada, Tetsuhiko Asai, dll.

Periode ini (sampai tahun 1940) tercatat sebagai jaman keemasan yang pertama bagi Shotokan. Di akhir perang (tahun 1945) ada dua kejadian besar yang sangat menggoyahkan jiwa Gichin, pertama hancurnya Dōjo Shotokan karena serangan udara pasukan Sekutu dan yang kedua adalah kematian Gigo setelah menderita sakit bawaan dari kecil yang diperparah cukup lama akibat buruknya kondisi Tokyo selama perang besar itu berlangsung Agaknya setelah perang selesai terjadi “kestagnanan” yang berlangsung cukup lama, yaitu sekitar tiga-empat tahunan.

Diakhir tahun 1948 beberapa murid senior Gichin yang mengepalai Dōjo di universitas – universitas besar terkenal mulai melakukan gebrakan baru untuk keluar dari situasi ini.Mereka berkumpul dalam rangka usaha merintis pembentukan sebuah wadah yang lebih condong pada sentuhan manajemen profesionalisme olahraga modern yang meniru patron dunia olahraga yang berkembang di Amerika Serikat. Gichin bisa menerima konsep ini dengan didasari pemikiran agar Karate bisa tersebar keseluruh penjuru dunia sesuai cita – cita awalnya.

Maka ditahun 1949 berdirilah JKA (Japan Karate Association) dengan Gichin Funakoshi sebagai Guru Besar, Isao Obata sebagai Presiden dan Masatoshi Nakayama sebagai Instruktur Kepala. Langkah konsolidasi yang bersifat “go public” ini segera menarik perhatian dari kesatuan – kesatuan pasukan Sekutu yang masih berada sampai jangka waktu yang lama di Jepang setelah Perang Dunia II berakhir.Untuk lebih menarik minat dengan mengandalkan nama besarnya, Gichin yang pada waktu itu sudah berusia 80-an masih sanggup memberikan pelatihan di Dojō JKA dan juga menerbitkan buku terakhir yang berjudul “Karate-dō , my way of life” yang berisikan biografi hidupnya.

Para  tentara Sekutu itu bukan hanya bergabung di JKA saja dan setelah mempelajari
secara serius seni beladiri Jepang lalu membawanya pulang serta menyebarkan olahraga baru ini yang tergolong masih asing di telinga dunia Barat pada saat itu.Perlu dicatat bahwa pada saat itu di Eropa & Amerika orang hanya mengenal Judō & Ju- Jutsu yang tidak memiliki terlalu banyak peminat.

Di tahun 1952 untuk pertama kalinya secara resmi sebuah grup yang terdiri atas para perwira muda dan instruktur jasmani militer dikirim oleh Komando Strategis AU Amerika Serikat ke Jepang untuk mempelajari secara serius teknik – teknik Judō, Aikidō & Karate-dō.Program latihan selama tiga bulan ini dimanfaatkan dengan baik oleh JKA untuk melakukan promosi pada mereka. Dan setelah program selesai dengan cepat para murid Gichin yang menjadi instruktur di bawah nama JKA tak pernah sepi dalam menerima permintaaan untuk memperkenalkan sekaligus menjadi instruktur Karate dari seluruh penjuru dunia terutama di Amerika Serikat & Eropa.Persentuhan ini menimbulkan sebuah terobosan yang sangat “revolusioner” bagi pemikiran seorang Gichin Funakoshi yang sederhana, yang selalu mendasarkan ajarannya pada konsep Dō secara total.

Hal yang revolusioner itu ialah permintaan dan kebutuhan untuk dapat  diadakannya sebuah kompetisi resmi dalam bentuk sebuah kejuaraan. Meskipun sangat jarang sekali dicantumkan dalam biografi tentang dirinya, namun berdasarkan dari fakta serta dokumen yang otentik disebutkan Gichin menolak dengan keras hal ini.Meskipun JKA tak pernah mengakui secara resmi namun pada kenyataannya di tahun 1955 dengan diikuti oleh Shigeru Egami dan Mitsusuke Harada ia memilih keluar dari JKA dan tak pernah kembali lagi. Ia lantas “menyepi” dalam sebuah Dojō yang ia beri nama Shotokai, dimana ia secara total bisa tetap mempertahankan “keaslian” ajaran dan pandangannya tentang Karate-dō.

Pada akhir tahun 1956, JKA sebagai sponsor utama sudah mantap untuk menyelenggarakan Turnamen Kejuaraan Karate-dō se-Jepang yang nantinya akan dianggap sebagai kejuaraan resmi pertama yang pernah diadakan di dunia modern.Penyelenggaraannya sendiri baru bisa dilaksanakan pada bulan Oktober 1957 dimana tercatat nama Hirokazu Kanazawa sebagai juara I dalam nomor Kumite (dua tahun berturut – turut) & nomor Kata. Agaknya JKA sendiri sangat mungkin baru “berani” melaksanakan kejuaraan ini setelah Gichin tidak ada.

Gichin Funakoshi , sang maestro besar peletak metode baru dalam pemahaman akan sebuah seni beladiri yang dinamakannya Karate-dō (yang mendasari orang untuk menganggapnya sebagai Bapak Karate Modern) , tutup usia pada tanggal 26 April 1957 dalam usia ± 89 tahun.

 SEJARAH ORGANISASI KARATE DUNIA

Maka ditahun 1949 berdirilah JKA (Japan Karate Association) dengan Gichin Funakoshi sebagai Guru Besar, Isao Obata sebagai Presiden dan Masatoshi Nakayama sebagai Instruktur Kepala. Langkah konsolidasi yang bersifat “go public” ini segera menarik perhatian dari kesatuan – kesatuan pasukan Sekutu yang masih berada sampai jangka waktu yang lama di Jepang setelah Perang Dunia II berakhir.Untuk lebih menarik minat dengan mengandalkan nama besarnya, Gichin yang pada waktu itu sudah berusia 80-an masih sanggup memberikan pelatihan di Dojō JKA dan juga menerbitkan buku terakhir yang berjudul “Karate-dō , my way of life” yang berisikan biografi hidupnya.

Pada akhir tahun 1956, JKA sebagai sponsor utama sudah mantap untuk menyelenggarakan Turnamen Kejuaraan Karate-dō se-Jepang yang nantinya akan dianggap sebagai kejuaraan resmi pertama yang pernah diadakan di dunia modern.Penyelenggaraannya sendiri baru bisa dilaksanakan pada bulan Oktober 1957 dimana tercatat nama Hirokazu Kanazawa sebagai juara I dalam nomor Kumite (dua tahun berturut – turut) & nomor Kata. Agaknya JKA sendiri sangat mungkin baru “berani” melaksanakan kejuaraan ini setelah Gichin tidak ada.

tahun 1965 oleh Shigeru Egami yang memproklamirkan Shotokai sebagai sebuah organisasi Karate-do dalam bentuk resmi.Setelah ia meninggal posisinya digantikan oleh Mitsusuke Harada.Shotokai pun memiliki pengikut yang cukup besar diseluruh dunia dan tetap mempertahankan keaslian ajaran Gichin yaitu tidak mengenal adanya pertandingan apapun untuk mengukur keberhasilan seorang karateka yang menjadi praktisinya.

Sebelumnya pada tahun 1948 Chojiro Tani mendirikan Shukokai, sebuah perguruan yang mengkombinasikan teknik – teknik Goju-ryu & Shito-ryu. Salah seorang muridnya yang bernama Nambu Yoshinao memperkenalkan aliran baru ini ke Prancis yang kemudian mendapatkan antusias yang sangat positif di Eropa dikarenakan metodenya yang dianggap sangat cocok untuk diterapkan dalam rangka memenuhi keinginan masyarakat Karate Eropa akan pengembangan Karate sebagai sebuah olahraga yang bercitarasa modern.Ditahun 1965 Nambu Yoshinao mendirikan alirannya sendiri yaitu
Nambu-Dō.

Tommy Morris, salah seorang pengikut Nambu Yoshinao yang berasal dari Skotlandia belakangan mendirikan perguruannya sendiri yang bernama Kobe Osaka Karate System. Hal ini perlu dimasukkan disini dikarenakan besarnya pengaruh yang dimainkan oleh Tommy Morris dalam hal penyusunan peraturan pertandingan yang diadopsi sebagai standar resmi oleh WKF pada saat ini.Peraturan yang digubah olehnya sangat mengacu pada sumber utama ajaran Shukokai yang lebih memfokuskan pada unsur observasi ketimbang tradisi.

Di Okinawa pada tahun 1956, Chosin Chibana yang merupakan guru besar dari aliran Shuri-Te membentuk Okinawa Karate-dō Renmei sebagai federasi resmi bagi seluruh aliran Karate yang ada di Okinawa. Pada tahun 1957 Masutatsu Oyama yang sebelumnya sempat mempelajari Shotokan langsung dari Gichin Funakoshi dan juga sekaligus pernah mendalami Goju-ryu mendirikan Kyokushinkai , aliran baru yang dciptakannya setelah mengkombinasikan teknik Shotokan, sistem perkelahian jalanan dan teknik pernapasan serta Kata dari Goju-ryu yang dikembangkannya melalui pengkajian secara serius dalam waktu yang cukup lama. Alirannya ini dianggap cukup
ekstrem oleh sebagian pakar Karate-dō dikarenakan model pertarungannya yang menggunakan sistem Full Body Contact seperti halnya pada pertarungan tinju.

Pada tahun 1965 berdirilah FAJKO (Federation of All-Japan Karate-dō Organizations) sebagai wadah bersama dari empat aliran besar yang ada di Jepang : Shotokan, Shito, Goju dan Wado.Hal ini disusul oleh berdirinya EKF (European Karate-dō Federation) yang diprakarsai oleh Henry D. Plee dari Prancis.Bersama FAJKO, EKF membidani lahirnya WUKO (World Union Karate Organizations) serta penyelenggaraan kejuaraan dunia Karate pertama pada tahun 1970.Saat ini WUKO telah berganti nama menjadi WKF (World Karate Federation) dan hanya mengakui empat aliran saja yaitu : Shotokan, Shito-ryu, Goju-ryu & Wado-ryu.

Sebagai federasi dunia WKF membawahi lima konfederasi yang mewakili lima regional utama internasional yaitu :
1. UAKF (Union of African Karate Federation)
2. AKF (Asian Karate Federation)
3. EKF (European Karate Federation)
4. OKF (Oceanian Karate Federation)
5. PKF (PanAmerican Karate Federation)

Berbeda dengan di Indonesia maka hampir semua organisasi / perguruan Karate besar di dunia saat ini pada umumnya secara tegas menyatakan dirinya sebagai lembaga yang murni bergerak hanya pada bidang olahraga secara profesional dan bukan merupakan organisasi yang bersifat / berkaitan dengan unsur sosial politik apapun juga.


 
KARATE MASUK KE INDONESIA 
 
Top of Form
Bottom of Form
Karate masuk di Indonesia bukan dibawa oleh tentara Jepang melainkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembali ke tanah air, setelah menyelesaikan pendidikannya di Jepang. Tahun 1963 beberapa Mahasiswa Indonesia antara lain: Baud AD Adikusumo, Karianto Djojonegoro, Mochtar Ruskan dan Ottoman Noh mendirikan Dojo di Jakarta. Mereka inilah yang mula-mula memperkenalkan karate (aliran Shoto-kan) di Indonesia, dan selanjutnya mereka membentuk wadah yang mereka namakan Persatuan Olahraga Karate Indonesia (PORKI) yang diresmikan tanggal 10 Maret 1964 di Jakarta.

Beberapa tahun kemudian berdatangan ex Mahasiswa Indonesia dari Jepang seperti Setyo Haryono (pendiri Gojukai), Anton Lesiangi, Sabeth Muchsin dan Chairul Taman yang turut mengembangkan karate di tanah air. Disamping ex Mahasiswa-mahasiswa tersebut di atas orang-orang Jepang yang datang ke Indonesia dalam rangka usaha telah pula ikut memberikan warna bagi perkembangan karate di Indonesia.Mereka-mereka ini antara lain: Matsusaki (Kushinryu-1966), Ishi (Gojuryu-1969),Hayashi (Shitoryu-1971) dan Oyama (Kyokushinkai-1967).

Karate ternyata memperoleh banyak penggemar, yang implementasinya terlihat muncul dari berbagai macam organisasi (Pengurus) karate, dengan berbagai aliran seperti yang dianut oleh masing-masing pendiri perguruan. Banyaknya perguruan karate dengan berbagai aliran menyebabkan terjadinya ketidak cocokan diantara para tokoh tersebut, sehingga menimbulkan perpecahan di dalam tubuh PORKI. Namun akhirnya dengan adanya kesepakatan dari para tokoh-tokoh karate untuk kembali bersatu dalam upaya mengembangkan karate di tanah air sehingga pada tahun 1972 hasil Kongres ke IV PORKI, terbentuklah satu wadah organisasi karate yang diberi nama Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI).

Sejak FORKI berdiri sampai dengan saat ini kepengurusan di tingkat Pusat yang dikenal dengan nama Pengurus Besar/PB. telah dipimpin oleh 6 orang Ketua Umum dan periodisasi kepengurusannyapun mengalama 3 kali perobahan masa periodisasi yaitu ; periode 5 tahun (ditetapkan pada Kongres tahun 1972 untuk kepengurusan periode tahun 1972 – 1977) periodisasi 3 tahun (ditetapkan pada kongres tahun 1997 untuk kepengurusan periode tahun 1997 – 1980) dan periodisasi 4 tahun ( Berlaku sejak kongres tahun 1980 sampai sekarang).

Di tahun 1964, kembalilah ke tanah air salah seorang mahasiswa Indonesia yang telah menyelesaikan kuliahnya bernama Baud A.D. Adikusumo. Ia adalah seorang karateka yang mendapatkan sabuk hitam dari M. Nakayama, JKA. Ia mulai mengajarkan karate. Pada Tahun 1967 beliau berkumpul dengan dua mahasiswa Indonesia yang juga telah menyelesaikan kuliah dari Jepang yakni Sabeth Mukhsin dan Anton Lesiangi. Pada tahun 1970, Sabeth Mukhsin beserta dengan Baud A.D. Adikusumo dan Anton Lesiangi Mendirikan PORKI (Persatuan Olah Raga Karate Indonesia) yang kemudian berganti nama menjadi FORKI (Federasi Olahraga Karate Indonesia). Pada waktu itu Sabeth Mukhsin telah mendapatkan tingkatan DAN 3 dari JKA (Japan Karate Association) yang merupakan DAN tertinggi di Indonesia pada waktu itu, Anton Lesiangi (DAN 1 JKA) dan Baud A.D. Adikusumo (DAN 1 JKA)

Sabeth Mukhsin, Anton Lesiangi beserta Baud A.D.Adikusumo akhirnya mendirikan Lembaga Pendidikan Karate yg disebut INKAI (Institut Karate-Do Indonesia)pada tahun 1971 yang dikenal sebagai Perguruan (Lembaga Pendidikan) pertama di Indonesia.

Beberapa tahun kemudian Baud A.D. Adikusumo mendirikan Institut Karate Do (INKADO) dan Anton Lesiangi mendirikan Perguruan Lemkari (Lembaga Karate-Do Indonesia), yang pada dekade 2005 karena urusan internal banyak anggota Lemkari yang keluar dan dipecat yang kemudian mendirikan INKANAS (Institut Karate-do Nasional) yang merupakan peleburan dari perguruan MKC (Medan Karate club).

Dari situlah berkembang apa yg disebut Aliran Karate lain yaitu Wado dibawah asuhanWado-ryu Karate-Do Indonesia (WADOKAI) yang didirikan oleh C.A. Taman dan Kushin-ryu Matsuzaki Karate-Do Indonesia (KKI) yang didirikan oleh Matsuzaki Horyu. Selain itu juga dikenal Setyo Haryono dan beberapa tokoh lainnya membawa aliran Goju-ryuNardi T. Nirwanto dengan beberapa tokoh lainnya membawa aliran Kyokushin. Aliran Shito-ryu juga tumbuh di Indonesia dibawah perguruan GABDIKA Shitoryu (dengan tokohnya Dr. Markus Basuki) dan SHINDOKA (dengan tokohnya Bert Lengkong). Selain aliran-aliran yang bersumber dari Jepang diatas, ada juga beberapa aliran Karate di Indonesia yang dikembangkan oleh putra-putra bangsa Indonesia sendiri, sehingga menjadi independen dan tidak terikat dengan aturan dari Hombu Dojo (Dojo Pusat) di negeri Jepang.

Pada tahun 1972, 25 perguruan Karate di Indonesia, baik yang berasal dari Jepang maupun yang dikembangkan di Indonesia sendiri (independen), setuju untuk bergabung dengan FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia), yang sekarang menjadi perwakilan WKF (World Karate Federation) untuk Indonesia. Dibawah bimbingan FORKI, para Karateka Indonesia dapat berlaga di forum Internasional terutama yang disponsori oleh KONI.

Pada Tahun 1985 terjadi kericuhan di badan organisasi FORKI, dan muncullah induk organisasi cabang olahraga Karate yang baru yang disebut PKSI (Persatuan Karate Seluruh Indonesia) yang memakai sistem organisasi Cabang Olahraga yang memiliki kurikulum baku tanpa menganut Aliran Karate. Pada tahun 2000, PKSI pun berganti nama menjadi FKTI (Federasi Karate Tradisional Indonesia) Sampai saat ini di Indonesia ada 2 Induk Organisasi Cabang Olahraga Karate, yakni FORKI (yang menganut Cabang Olahraga Karate Aliran) dan FKTI (yang menganut Cabang Olahraga Karate tanpa Aliran).
 


"Sumber Bab III Sejarah Karate PB Forki Attachment"

1 comment:

  1. oshh!
    lengkap.. jadi tau nih sejarah karate,, tks banget udah share pengetahuannya

    ReplyDelete